Tuesday, April 13, 2010

Kebudayaan

Kebudayaan
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Kebudayaan yang saya pilih adalah:
1.Kebudayaan Palembang
Sejarah tua Palembang serta masuknya para pendatang dari wilayah lain, telah menjadikan kota ini sebagai kota multi-budaya. Sempat kehilangan fungsi sebagai pelabuhan besar, penduduk kota ini lalu mengadopsi budaya Melayu pesisir, kemudian Jawa. Sampai sekarang pun hal ini bisa dilihat dalam budayanya. Salah satunya adalah bahasa. Kata-kata seperti "lawang (pintu)", "gedang (pisang)", adalah salah satu contohnya. Gelar kebangsawanan pun bernuansa Jawa, seperti Raden Mas/Ayu. Makam-makam peninggalan masa Islam pun tidak berbeda bentuk dan coraknya dengan makam-makam Islam di Jawa.
Kesenian yang terdapat di Palembang antara lain:
• Kesenian Dul Muluk (pentas drama tradisional khas Palembang).Tari-tarian seperti Gending Sriwijaya yang diadakan sebagai penyambutan kepada tamu-tamu, dan tari Tanggai yang diperagakan dalam resepsi pernikahan
• Lagu Daerah seperti Dek Sangke, Cuk Mak Ilang, Dirut, dan Ribang Kemambang
• Rumah Adat Palembang adalah Rumah Limas dan Rumah Rakit
Kota Palembang juga selalu mengadakan berbagai festival setiap tahunnya antara lain "Festival Sriwijaya" setiap bulan Juni dalam rangka memperingati Hari Jadi Kota Palembang, Festival Bidar dan Perahu Hias merayakan Hari Kemerdekaan, serta berbagai festival memperingati Tahun Baru Hijriah, Bulan Ramadhan, dan Tahun Baru Masehi.




2.Kebudayaan Menyontek
Kata menyontek mungkin sudah tidak asing lagi bagi pelajar dan mahasiswa. Setiap orang pasti ingin mendapat nilai yang baik dalam ujian, dan sudah tentu berbagai macam cara dilakukan untuk mencapai tujuan itu. Masalah menyontek selalu terkait dengan tes atau ujian. Banyak orang beranggapan menyontek sebagai masalah yang biasa saja, namun ada juga yang memandang serius masalah ini.
Kecurangan yang sistematis dari bangku SD hingga PT lambat laun akan menciptakan budaya instan ingin memperoleh nilai “baik” tanpa usaha, hal ini akan menjadikan generasi muda Indonesia menjadi generasi yang cepat berpuas diri, hedonis, dan bahkan bersifat apatis akan apa yang ada disekelilingnya.
Kebiasaan ingin memperoleh hasil tanpa memikirkan cara/proses akan membentuk masyarakat yang hanya menilai manusia dari penampakan visual saja. Seolah-olah keberhasilan hanya diukur oleh pencapaian materi, mereka tidak peduli apakah materi tersebut diperoleh dengan jalur korupsi, pemerasan, bahkan merugikan orang banyak. Masyarakat seperti ini tidaklah dapat diharapkan menjadi masyarakat pencinta perubahan (pembaharu) mereka adalah tipikal pencinta status quo yang tidak ingin kenyamanan hidupnya terusik walau dia sadar kenyamanan tersebut diperolehnya diatas penderitaan orang lain.
Pertimbangan-pertimbangan yang sering digunakan adalah nilai-nilai agama yang akan memunculkan perasaan bersalah dan perasaan berdosa, kepuasan diri terhadap “prestasi” akademik yang dimilikinya, dan juga karena sistem pengawasan ujian, kondusif atau tidak untuk mencontek. Masalah kepuasan “prestasi” akademik juga akan menjadi sebuah konsekuensi yang mungkin menjadi pertimbangan bagi seseorang untuk mencontek. Bila ia mencontek, maka ia menjadi tidak puas dengan hasil yang diperolehnya.
Beberapa dorongan siswa maupun mahasiswa melakukan menyontek :
1. Karena terpengaruh setelah melihat orang lain melakukan cheating meskipun pada awalnya tidak ada niat melakukannya.
2. Terpaksa membuka buku karena pertanyaan ujian terlalu membuku (buku sentris) sehingga memaksa peserta ujian harus menghapal kata demi kata dari buku teks.
3. Merasa dosen/guru kurang adil dan diskriminatif dalam pemberian nilai.
4. Adanya peluang karena pengawasan yang tidak ketat.
5. Takut gagal. Yang bersangkutan tidak siap menghadapi ujian tetapi tidak mau menundanya dan tidak mau gagal.
6. Ingin mendapatkan nilai tinggi tetapi tidak bersedia mengimbangi dengan belajar keras atau serius.
7. Tidak percaya diri. Sebenarya yang bersangkutan sudah belajar teratur tetapi ada kekhawatiran akan lupa lalu akan menimbulkan kefatalan, sehingga perlu diantisipasi dengan membawa catatan kecil.
8. Terlalu cemas menghadapi ujian sehingga hilang ingatan sama sekali lalu terpaksa buka buku atau bertanya kepada teman yang duduk berdekatan.
9. Merasa sudah sulit menghafal atau mengingat karena faktor usia, sementara soal yang dibuat penguji sangat menekankan kepada kemampuan mengingat.
10. Mencari jalan pintas dengan pertimbangan daripada mempelajari sesuatu yang belum tentu keluar lebih baik mencari bocoran soal.
11. Menganggap sistem penilaian tidak objektif, sehingga pendekatan pribadi kepada dosen/guru lebih efektif daripada belajar serius.
12. Penugasan guru/dosen yang tidak rasional yang mengakibatkan siswa/mahasiswa terdesak sehingga terpaksa menempuh segala macam cara.
13. Yakin bahwa dosen/guru tidak akan memeriksa tugas yang diberikan berdasarkan pengalaman sebelumnya sehingga bermaksud membalas dengan mengelabui dosen/guru yang bersangkutan.
Mencermati kasus yang terjadi dan berdasarkan pengalaman saya sendiri sebagai seorang pelajar dan mahasiswa, sepertinya perbuatan mencontek ini susah sekali untuk dihilangkan.Tapi yang lebih mendasar adalah kembali pada integritas itu sendiri bagaimana kemudian mahasiswa bisa menyikapi secara nyata dalam kehidupannya, bukan hanya pada sebuah budaya menyontek tetapi juga dalam setiap sendi kehidupannya. Untuk jujur Karena kejujuran kunci keberhasilan, meskipun memang banyak orang yang tidak sependapat tentang hal itu.

No comments:

Post a Comment